![citarum1 citarum1](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1ZyHXoULu4NFIKAx2wLpjZWymAM5c8xjbD7YM3pHpy1qet_BQ5JGPQhXcqOWdKH76wgCfbcajq3-YvYkZUz36oa2rEGjDkEUNEElZ5KqECu8-m1jQ9gzsd-zFYAJT-qWRIND0e3OAxLk/s640/seorang-pemulung-mencari-rongsokan-di-sungai-citarum-di-daerah-_140226155129-478.jpg) |
Seorang pemulung tengah mencari sampah di DAS Citarum. (photo by Republika.co.id) |
Sungai Citarum merupakan
salah satu sungai terpanjang di Indonesia, mengalir dari Situ Cisanti, Gunung
Wayang, Kabupaten Bandung hingga Pantai Merdeka, Muara Gembong, Kabupaten
Bekasi. Seperlima luas Jawa Barat
ini merupakan wilayah daerah aliran sungai Citarum, yang meliputi 12 kabupaten
dan kota seluas ±700.000 ha.
Tapi sepanjang sungai
tersebut belum sepenuhnya memberi kesejahteraan dan kemakmuran kepada
masyarakat terutama Jawa Barat, hal itu karena kondisi kualitas air sungai saat
ini.
Hal tersebut diperkuat oleh
laporan tahunan yang dirilis organisasi lingkungan Green Cross Swiss dan
Blacksmith Institute International November 2013 lalu. Dimana sungai Citarum
menjadi salah satu tempat paling tercemar dan terkotor di Dunia.
“Dalam beberapa tahun terakhir ini kondisi DAS Citarum,
tidak ada perubahan yang signifikan ke arah perbaikan yang lebih baik, bahkan
kerusakan ekosistem yang terjadi di DAS Citarum tahun ini kian parah jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.”, ujar Adi M Yadi, Ketua Pawapeling
(Paguyuban Warga Peduli Lingkungan) Bandung Raya
Hal itu dapat dilihat secara visual mulai dari 10 km di
hulu Citarum, yakni kondisi air permukaan yang berwarna hitam pekat dan
mengeluarkan bau menyengat yang diduga akibat dari buangan limbah industri
tekstil. Begitu pun dengan sedimentasi yang kian tinggi dan sampah rumah tangga
menumpuk serta lahan kritis yang semakin masif.
Menurut data Pawapeling,
setiap tahun Citarum ‘dipaksa’ menampung 25.680 ton limbah ternak, industri dan
sampah rumah tangga. Sedangkan jumlah penduduk di Jawa Barat terus bertambah
membuat permintaan akan luas permukaan meningkat 115 persen dari 81.700 ha
menjadi 176.000 ha.
Sungai Citarum menjadi
kepentingan nasional dengan dibangunnya 3 Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yakni
PLTA Jatiluhur, Saguling, dan Cirata yang menghasilkan total 2596 megawatt
untuk menerangi seluruh Jawa dan Bali.
![citarum2 citarum2](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAgdoc5bLs6WYfvVHyAksrKyIHHgmY660AQDrP0weuUhP6nO452eH42XMlA0IOEAz4AeZMdcmmKw6NJH5bLASlbXXEYjFPRyi4mmsA__K5t84PftA6SfORETRInQ_vnDt9eWxbx5XoYgA/s640/MCXqZ1pkK7.jpg) |
Sungai Citarum yang berubah warna akibat limbah industri (Photo by Citarum.org) |
Selain itu, sungai
Citarum memasok air bersih untuk 25 juta jiwa penduduk Jawa Barat dan DKI
Jakarta dalam kehidupan sehari-hari dan lahan pertanian melalui saluran irigasi
mencapai 420.000 ha.
Melihat strategisnya aliran
air dibarengi dengan tingkat kebutuhan air yang terus bertambah, dapat
dibayangkan jika tidak ada air dan pencemaran semakin menjadi maka akan terjadi
krisis air di masa depan.
”Saat ini saja terdapat
total lahan produktif pertanian
yang tercemar limbah beracun dan berbahaya industri seluas + 1200 Ha dan
400 Ha diantaranya tidak lagi dapat ditanami padi,” ujar Adi.
Pencemaran tersebut berlokasi di 4 Desa, yaitu Desa
Linggar, Jelegong, Sukamulya dan Bojongloa, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten
Bandung. Tercemarnya lahan produktif pertanian tersebut menyebabkan menurunnya
produktivitas pertanian sehingga para petani mengalami kerugian sekitar Rp 2,5
miliar per tahun.
“Kampung ini mulai
tercemar lima tahun lalu dan semakin parah. Sejak tiga tahun terakhir, lahan
sawah mati dan tidak bisa ditanami. Kalau di TV mah ada Preman Pensiun, nah di sini mah banyak petani pensiun gara-gara
itu. Padahal dulu kampung ini lumbung padi kabupaten,” ujar salah satu warga Kampung
Rancapait, Desa Linggar, Mumuh Muharam.
Berbeda dengan para petani
di Rancaekek, di Kampung Leuwiawi, Pacet, 8 km dari hulu Citarum para petani
masih bernapas lega akan kondisi sungai Citarum saat ini. Pencemaran yang
terjadi belum separah dengan lahan yang ada di Rancaekek.
“Air sungai disini masih
kelihatan jernih karena dekat sama Situ Cisanti, Cuma banyak sampah plastik
saja. Belum tercemar seperti di Ciparay ke sana yang sudah banyak
pabrik-pabrik,” ucap Ano, petani bawang daun Kampung Leuwiawi.
![citarum3 citarum3](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiP0mTVYpgAXxUxHi2tj50jF2b4nvQeOzOuVOtHVPYs30pji4bwBkA-cue8XzLk8HmbjKrxwNawAbLIIL9flV7SZHHO_tZRThwRjjfofSPd-86IQ4v79uAht-pZEaDgep0mqIVNZ_uPlew/s640/2924320p.jpg) |
Sungai Citarum dengan latar belakang jembatan tol Purbaleunyi (Photo by Lipsus.kompas.com) |
Menurut Yonik Meilawati Yustiani,
Ketua Prodi Teknik Lingkungan Universitas Pasundan mengatakan, sebenarnya perairan
mampu membersihkan dirinya atau “self purification” apabila tercemar polutan
organik melalui bantuan mikroorganisme, sehingga dapat terdegradasi secara
alami.
“Namun jika di sepanjang
aliran terus menerus dibebani polutan, apalagi ada polutan yang persisten seperti
logam berat dan pestisida, maka semakin ke hilir, kualitas air sungai menjadi
semakin berat, apalagi yang paling terlihat jelas adalah limbah padat yang terkumpul
di daerah pesisir. Sebenarnya ini menggambarkan juga kandungan polutan yang
terkandung dalam air juga menumpuk di daerah pesisir ini,” ujarnya.
Pro dan Kontra
Sudah seharusnya Jawa Barat
bergerak melakukan cara untuk mengatasi masalah sungai Citarum saat ini,
melalui beberapa program seperti pemantauan dan penelitian baku mutu air.
Badan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat sejak lama terus berupaya memantau dan
meneliti kualitas air sungai Citarum yang saat ini terklasifikasi tercemar
berat.
Kegiatan pemantauan dan
penelitian dilakukan saat munculnya kasus pencemaran oleh limbah industri sejak
tahun 1980an. BPLHD sudah melakukan pemantauan dengan mengambil sampling di
beberapa titik di sepanjang Citarum antara lain Wangisagara, Koyod, Setelah IPAL
Cisirung, Nanjung, Outlet Waduk Jatiluhur, Bendung Walahar, dan Tunggak Jati.
“Kita melakukan sampling
rutin setiap bulannya selama lima kali, kita kan ke lapangan tahu kondisi dan
keadaannya secara langsung. Banyak sampah, kotor, dan bau. Nah, kita juga
mengetahui status mutunya itu, karena kan kita pakai lab untuk menguji kualitas
airnya. Dan intinya citarum masih tercemar berat,” ujar staf pemantauan DAS
Citarum, Windi Dwi.
![citarum4 citarum4](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJdwRGMHmqeswBsZ83tu5e8eT8FZU2IwUgceZrKihL32VMzyxhSNuITnOA6SqqES1JMKHXGho9SBnYRhHT6CMLwRTSTsX-HTuWm9Mg1OcxHqGzZufXW46wYOJyWeAo5JTnSovN51fo5iI/s640/36048010643citarum0990070.jpg) |
Pencemaran Sungai Citarum terlihat jelas dari atas (photo by cikalnews.com) |
BPLHD juga telah menetapkan
program Desa Berbudaya Lingkungan (Ecovillage) dengan target menjadikan Citarum
BESTARI (bersih dan lestari). Windi Dwi mengatakan tahun kemarin dan tahun ini
terdapat kegiatan terhadap pembinaan dan pengawasan terhadap industri, terutama
di kawasan hulu seperti Majalaya.
Program tersebut ditunjang
pula oleh beberapa proyek infrastruktur
yang memakan biaya miliaran rupiah seperti bendungan, kirmir, sumur resapan,
dll.
Mesti dianggap sebagai
solusi yang tepat dalam mengatasi masalah sungai Citarum, namun program-program
dibawah naungan pemerintah masih tetap mengundang pro dan kontra.
Yang paling getol akan
ketidak setujuan tersebut adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),
sebuah organisasi lingkungan global.
WALHI memiliki banyak alasan
ketidak setujuan program pemerintah dan mematahkan argumentasi bahwa air
Citarum dapat diminum pada tahun 2018.
“Ketika pemerintah Provinsi
melakukan program itu, dari berbagai aspek baik, perlu diapresiasi. Namun,
dilihat secara detail kita mengkoreksi itu tidak bisa menjawab,” ujar Dadan
Ramdhan, Direktur eksekutif WALHI Jawa Barat.
Ketidak setujuan terhadap pemerintah
diungkapkan Dadan dengan membandingkannya dengan pemerintah Jepang, dengan negara
kuat dan kebijakan yang tegas serta edukasi pada masyarakat membuat sungai di
Jepang bersih dari berbagai limbah.
“Belajar dari
praktek-praktek terhadap sungai perlu kuatnya negara untuk melakukan
terobosan-terobosan. Misalnya, salah satu sungai di Jepang yang tercemar, namun
karena negaranya kuat, kawasan industri direlokasi, hasilnya terlihat
dampaknya. Untuk besarnya sendiri secara keseluruhan tidak menjawab apalagi ada
harapan sungai Citarum dapat diminum seluruhnya pada tahun 2018 itu sepertinya
agak mustahil,” ungkapnya.
![citarum5 citarum5](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyW_bXz8jb_d-NRko5E9fLXKfLpDhXetW5XNM_IsErW4XOIkmlN2bBuC85SGpbg-t7f3HePgIC9exZidayUg3G89-7KRHhEG9zBM8rdVCn129Bzw61d2AVSGoU6JIckNbgxXSNxdZWJYk/s640/citarum-450x300.jpg) |
Dua orang anak berenang di antara sampah yang ada di DAS Citarum (photo by soreangonline.com) |
WALHI juga menilai keliru
jika pemerintah kerap mengedepankan program infrastruktur dibandingkan edukasi
dan sosialisasi terhadap masyarakat. Menurutnya program infrastruktur hanya
akan menimbulkan masalah hukum baru seperti penyelewengan dan korupsi akan dana
miliaran rupiah.
“Dari segmen satu, total Rp
57 milyar hanya Rp 2 milyar yang bertujuan untuk mengedukasi rakyat. Bayangkan
2/57 itu hanya 0,4 persen yang langsung
ke rakyat, segmen kedua, 20-40 kilometer itu Rp 100 milyar, dana yang langsung
untuk turut membantu peran warga sebagai penggerak dalam upaya perbaikan juga
minim. Selebihnya kembali ke infrastruktur,” ucap Dadan.
WALHI mengusulkan
peningkatan program terhadap penggunaan masyarakat sebagai aktor penting
melalui edukasi dan sosialisasi.
Namun, menurut Dadan masih
ada hambatan sehingga belum optimal dilaksanakan meskipun pemerintah sudah
menyadari dampak yang ada bila terus menerus diabaikan.
“Harus ada keberanian dalam
menjalankan kebijakan itu. Mau tidak mau, suka tidak suka harus ada korban.
Karena tanpa itu, 20 tahun ke depan ceritanya akan sama, DAS Citarum hari ini
karena kebijakan 20 tahun yang lalu,” ujar Dadan.
Hal yang sama diamini Adi yang menyetujui terhadap
program sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat. “Karena masalah yang ada di Citarum bukanlah masalah fisik
(sungainya) tapi air sungainya karena dicemari oleh limbah. Maka lebih baik dan efektif jika
pendekatannya dengan masyarakat DAS Citarum itu melalui sosialisasi,
informasi dan edukasi baik mengenai masalah maupun potensi yang ada di DAS Citarum,”
ungkapnya.
Menurut Yonik, apa yang
dilakukan oleh Pemerintah melalui BPLHD dengan menggelar beberapa program
seperti Citarum BESTARI, pemantauan dan penelitian terhadap kualitas air belum
di rasa cukup untuk mengatasi pencemaran yang terjadi di DAS Citarum.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEZdih9deDOh3WwwUIQsbDKr5sjiVR10FGAw1-5jn74r4TlhMy30hxYC2vhAKvFpKdUy-Wp9BBbb48Ez8ZIB1h7HLo34rxSIg0V1qEAD6-SrYv47EWodRBSP8TIa_Ar8FLZzVrkOQ6YvI/s640/75578_125047.jpg) |
Situ Cisanti, hulu Sungai Citarum (photo by Andri Tambunan/Greenpeace) |
“Kuncinya adalah perbaikan mental
dan moral seluruh warga. Masyarakat mengolah limbah domestik (septic tank
individual/ bioreactor/ dll.). Industri mengolah limbahnya (IPAL). Pemerintah membantu dari
sisi fasilitas, pengetahuan, penegakan hukum. Pemantauan dan penelitian terus
dijalankan. Tokoh masyarakat mempersuasi agar masyarakat cinta sungai dengan
mengadakan kegiatan di dekat sungai,” ungkap Yonik.
Meski air Citarum memiliki
potensi dalam memajukan berbagai sektor penting di kawasan regional dan
nasional, jika terus menerus saling menyalahkan dan belum berpikir untuk
melestarikan alam di sekitarnya secara bersama, maka sungai Citarum akan terus
terlilit dalam status tercemar berat.
Jadi mungkinkah air sungai
Citarum yang sudah diimpikan masyarakat Jawa Barat sejak lama dapat diminum
langsung sejak asalnya ?
M Agia Nur Pratama